Supandi dan Amnesia yang Dialaminya
BAYANGKAN kita tiba-tiba terbangun di suatu tempat yang orang-orangnya tidak kita kenal. Banyak orang lalu-lalang di sekitar kita, besar-kecil, tua-muda, laki-laki dan perempuan, tapi tak ada satupun yang kita kenal dan (dalam pikiran kita) mereka pun tidak mengenal kita. Sesekali mereka mengajak kita bersalaman, bicara ini-itu, menceritakan kisah yang tidak masuk akal sebab kita tidak memiliki memori tentang kisah-kisah itu. Dalam kondisi seperti ini siapapun akan merasa sangat kesepian, terasing, dan -boleh jadi- ketakutan.
Saya membayangkan seperti itulah yang dialami kawan kita, Supandi Hariyanto, sekitar awal bulan Desember 2010. Saya tidak tahu persis bagaimana awal-mula kejadiannya, saya cuma mendengar cerita itu dari Sabar. Menurut Sabar, Pandi saat ini berada di rumah sakit di Bangkalan Madura karena stroke. Mendengar kata stroke, imajinasi saya langsung mengarah pada penyumbatan pembuluh darah otak yang bisa membuat penderitanya lumpuh kaki, lengan, separuh wajah/badan, bahkan meninggal dunia jika tidak cepat ditolong.
Untungnya cerita itu salah, Pandi bukan terkena stroke tetapi kehilangan sebagian memorinya atau amnesia. Pandi bahkan, secara fisik kondisinya lumayan bagus. Toh amnesia itu tetap suatu yang sangat mengkhawatirkan, karena Pandi bahkan tidak ingat pada anak, istri, dan teman-temannya.
Sebenarnya amnesia ini kejadian yang lumrah pada kasus trauma kepala. Misalnya pada orang yang mengalami kecelakaan, mereka sering lupa bagaimana persisnya kejadian yang dialaminya. Tapi amnesia jenis ini hanya terjadi pada memori jangke pendek, artinya hanya memori seputar terjadinya kecelakaan yang hilang, sementara memori jangka panjang tetap utuh, misalnya siapa namanya, di mana rumahnya, siapa nama istrinya, dst.
Memori jangka panjang bisa hilang/tidak utuh jika trauma yang dialami sangat berat. Pada kasus ini sebagian memori memang masih ada, tetapi penderita tidak bisa menghubungkan antara kejadian yang satu dengan kejadian lain. Karena itu biasanya omongan mereka ngelantur. Saya tahu masalah ini karena teman saya mengalami trauma berat seperti itu.
Kembali ke cerita tentang Supandi. Belakangan saya tahu dari Pandi sendiri bahwa ia bukan (belum) terkana stroke, tetapi tekanan darahnya mendadak naik sangat tinggi, diikuti dengan migraine dan vertigo. Menurut dokter, rangkaian kejadian itulah yang membuat memorinya hilang sementara, tapi Pandi masih beruntung. Dan lebih beruntung lagi karena amnesia itu hanya berlangsung sementara, sekitar satu minggu.
Pada saat Sabar datang ke rumah Pandi untuk pertama kalinya tanggal 18 Desember lalu, amnesia itu masih ada. Jadi Pandi tidak bisa mengenali Sabar yang datang berombongan bersama Susi, Edi Agus, Anik, dan Ani. Saat itu karena kondisinya mmasih belum baik, istri Pandi yang banyak bercertita kepada mereka. (Sabar sudah menceritakan sendiri pertemuannya itu lengkap dengan fotonya)
Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 24 Desember, Sabar, kali ini bersama Heri Kustono dan keluarga, kembali datang ke rumah Pandi. Saat itu ingatan Pandi sudah kembali sehingga bisa mengenali mereka dan bercerita seputar penyakitnya.
Ke Surabaya
Tanggal 28, giliran saya yang mengajak Sabar menengok Pandi. Mumpung sedang di Surabaya pikir saya. Saya kira itu juga yang dipikirkan Heri yang sudah lama tinggal di Bandung. Saya dan Sabar berangkat bersama Kakung dan Yoyok. Yoyok adalah teman saya, Kakung, dan Pandi sewaktu kami di SMAN 4 dulu. Sabar sendiri –tanpa ada yang mengangkat- menjadi penunjuk jalan ke rumah Pandi di Bangkalan yang memang susah dicapai jika tidak pernah ke sana.
Baru besok siangnya, tanggal 29 Desember, saya bisa bertemu dengan Pandi. Saya kali ini bersama Sabar dan Agres, sementara Yoyok dan Kakung tidak ikut. Yoyok harus kembali ke Malang untuk bekerja, sedangkan Kakung waktu di telefon di rumahnya, pergi entah kemana.
Kami bertemu Pandi di tepmat kos istrinya di daerah Pakis Gunung Surabaya. Rupanya selama di Surabaya, Pandi tinggal di tempat kos istrinya. Istri Pandi sendiri bekerja di Surabaya sejak dua bulan yang lalu, sehingga mesti bolak-balik Bangkalan-Surabaya. Setelah bertanya beberapa kali sampailah kami di tempat tinggal Pandi.
Saat itulah baru saya melihat kondisi Pandi dengan mata kepala sendiri. Terus terang saya lega, karena kondisi fisik Pandi jauh lebih baik dari yang saya bayangkan sebelumnya. Bahkan Pandi sendiri yang menjemput kami di pinggir jalan. Tubuhnya memang kurus tapi selebihnya dia tetap seperti Pandi yang terakhir kami kenal. Kami terkahir bertemu pandi pada halal-bihalal di Hotel Sahid Surabaya sekitar Lebaran tahun lalu.
Saya, Agres, dan Sabar diajak ke dalam kamar kos yang ukurannya kecil saja tapi sangat bersih. Ada rice cooker, dispenser air dan televisi kecil (saja jadi ingat kamar kos saya sendiri di Jakarta). Foto istri Pandi seukuran kartu pos tergantung di dinding di bawah tulisan kaligrafi.
Di sanalah kami berbicara, sebagian besar tentang penyakit yang dialaminya dan urusan pekerjaannya di Dinas Perindustrian. Pandi ditemani anaknya yang terkecil karena istrinya telah berangkat kerja waktu kami datang. Menurut Pandi, setiap hari istrinya berangkat bekerja pukul 13.00 dan pulang pukul 21.00.
Istrinya sengaja mengajak Pandi ke Surabaya untuk kontrol di RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut). Jika hasil pemeriksaan laboratorium baik, artinya tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan, Pandi akan kembali ke Bangkalan esok hari. Pandi berangkat ke Surabaya Hari Senin, dan kami datang ke tampat kosnya hari Rabu. Hari Kamis rencananya Pandi balik ke Bangkalan.
Sekitar pukul 14.30, setelah sejam bertemu kami pemit pulang. Sejak saat itu hingga sekarang kami tidak tahu lagi bagaimana perkembangan kesehatan Pandi, mudah-mudahan ia makin sehat dan menjalani semua nasihat dokter dengan disiplin. Mau gimana lagi coba? (son andries)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar